Cermin takdir lembab dan reinkarnasi

Sapuan kuas ajaib Garcia Marquez bagaikan hujan yang terus-menerus di Macondo, membasahi darah keluarga Buendía ke tanaman anggur tropis. Di musim hujan yang panas di Indonesia, saya merasakan gaungnya di separuh dunia. Keturunan yang mempunyai nama berulang itu berbincang dengan saya di loteng Jakarta, tempat kipas langit-langit bergoyang - cara Aurelianos yang tak pernah berhenti melemparkan ikan mas kecil persis seperti para perajin Jawa yang menggunakan kain batik untuk melawan kerasnya perjalanan waktu.

Saat bayi generasi ketujuh dimakan semut, saya mencium bau pisang busuk di perkebunan Sumatera. Kuku besi para penjajah dan nafas tanah tropis telah berubah menjadi elegi yang sama dalam kebangkitan dan kejatuhan keluarga selama seabad terakhir. Suara gemerisik Úrsula saat memoles perak berpadu dengan irama neneknya yang sedang mencuci pakaian di Selat Sunda. Kedua peradaban itu menggunakan ritual harian untuk melawan kehampaan.

Yang paling menyakitkan bagi saya adalah badai ketika ramalan perkamen itu menjadi kenyataan. Yang terhapus bukan hanya batu bata dan genteng Macondo, tetapi juga lintasan perjuangan semua orang yang mencoba melepaskan diri dari nasib mereka. Ketika aku menutup buku, hujan badai khatulistiwa membasahi atap seng permukiman kumuh di Jakarta. Dalam kelembapan itu, aku tiba-tiba mengerti: apa yang disebut keajaiban itu tak lebih dari bau realitas yang berfermentasi dalam lipatan ingatan.